
Oleh: Dr. Suwarsono Muhammad, Dosen FBE UII Yogyakarta dan Penulis aktif
Opini, pinbasmui.com – Ketika nama Milton Friedman disebut biasanya selalu diikuti dengan nama University of Chicago. Keduanya sepertinya tidak pernah dan tidak dapat terpisahkan, sekalipun sesungguhnya dia mendapatkan gelar doktornya dari Columbia University pada tahun 1946. Keduanya dikenal sebagai raksasa dunia – individu dan lembaga – yang sepenuhnya bertanggungjawab pada konsolidasi, perkembangan, dan kemapanan paham ekonomi liberal dan epistemologi instrumentalisme-positivisme ekonomi. Tulisannya yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan F-53 menjadi penanda zaman yang tidak pernah bergeser posisi dominasinya sampai hari-hari ini.
Friedman menerima penghargaan Nobel Ekonomi pada tahun 1976. Perlu diketahui juga bahwa Friedman mendapat julukan sebagai anak spiritual dari Adam Smith, julukan yang diberikan oleh New York Times pada tahun 1976 (Overveltd, 2007: 91), sekalipun pada masa mudanya ia tidak dikenal sebagai calon ekonom cemerlang, menurut beberapa koleganya ketika itu. Ia lebih dikenal sebagai aktivis politik. Hubungan keduanya bersifat timbal balik (resiprokal) saling memberikan koontribusi dan menguntungkan kedua belah pihak. Sepertinya hanya karena lingkungan dan dukungan dari University of Chicago nama Friedman sebagai ekonom pasar bebas mendunia secara berkelanjutan.
Dia hidup dan tumbuh dalam budaya akademik perguruan tinggi yang tepat. Demikian pula sebaliknya, Friedman memberikan kontribusi akademik, ekonomi, dan politik pada University of Chicago. “The Chicago Boys” menyebar ke seantero dunia, khususnya di banyak negara berkembang (lihat Edwards, 2023). Rasanya tidak mungkin dan tidak perlu menghitung siapa yang memberikan kontribusi yang lebih signifikan. Yang tampak pasti hubungan melekat erat itu berlangsung berkelanjutan, dan tercatat secara baik dalam sejarah dunia – akademik, politik, dan ekonomi.
Kritik tajam berkelanjutan tidak mengganggu stabilitas hubungan mesra keduanya, apalagi sampai menggoyahkannnya. Keunikan hubungan antara individu dan lembaga seperti yang diceritakan secara ringkas di atas itu bukan hanya monopoli mereka berdua. Richard H. Thaler, ekonom lain yang kemudian juga menerima penghargaan Nobel Ekonomi pada tahun 2017, juga memiliki hubungan resiprokal istimewa dengan Alfred P. Sloan Foundation dan Russell Sage Foundation yang berlangsung antara 1984 sampai 1992.
Richard H. Thaler tidak sendirian dalam membangun kerjasama tersebut, sejak awal telah bersama-sama dengan dua rekan kerja akademik yang juga klas dunia, yang memiliki latar belakang disiplin psikologi. Mereka adalah Daniel Kahneman dan Amos Twersky, dan yang disebut pertama kemudian juga menerima penghargaan Nobel Ekonomi pada tahun 2002. Di luar mereka bertiga, pada akhir dasawarsa 1980an itu hanya ada tiga orang lain yang menegaskan sebagai pembelajar ekonomi perilaku, yakni George Loewenstein, Robert Shiller, dan Colin Camerer. Mereka semua itulah tim yang menjadi tulang punggung awal kelahiran cabang baru ilmu ekonomi ini (Thaler, 2016: 176). 1 Thaler menyadari bahwa tidak mudah membangun bidang keilmuan baru secara sendirian, sekalipun bukan tidak pernah terjadi – misalnya yang terjadi pada teori permainan (game theory) pada tahun 1940an.
Oleh karena itu ketika kerjasama di atas benar-benar dapat dimulai dinilai sebagai momentum awal kebangkitan ekonomi perilaku (behavioral economics). Eric Wanner yang pada mulanya menjadi manajer program pada Alfred P. Sloan Foundation dan kemudian menjabat sebagai presiden dari Russell Sage Foundation menjadi salah satu penentu keberhasilan, jika dilihat dari kegigihan penggalangan jaringan akademisi berklas dan penyediaan dana (lihat Heukelom, 2014: 151). Dinyatakan secara tegas oleh Thaler (2016: 184) bahwa “They all can thank Eric Wanner for helping them get started. He is the behavioral economics founding funder.” Ujian pertama keberhasilannya, menurut Heukulem (2014: 158), terlihat pada penyelenggaran konferensi ilmiah “The Behavioral Foundation of Economic Theory,” yang dilaksanakan di University of Chicago, diorganisasikan oleh Robyn Hogarth dan Melvin Reder.
Langkah-langkah lanjutannya semakin terlihat jelas dimulai dari keberhasilan penyelenggaran serangkaian kursus singkat penelitian pada musim panas, yang dikelola berseri oleh generasi ekonom yang lebih muda. Sejumlah peneliti muda tangguh lahir dari program ini, dan mereka kemudian menjadi tulang punggung ekonomi perilaku pada masa sekarang ini, menjadi generasi kedua setelah generasi pertama mulai menua, melambat, dan juga semakin “malas.”
Fenomena serupa ternyata juga dijumpai di University of Cambridge. Selasa pagi di lantai paling atas Fakultas Ekonomi, di universitas tenama itu, merupakan momentum yang selalu dinantikan kedatangannya dan kemudian tidak hendak dilupakan oleh Tony Lawson, sekarang sebagai guru besar ekonomi dan filsafat emeritus di univesitas tersebut. Dari serangkaian diskusi yang berlangsung secara informal dengan para mahasiswa doktoralnya pada awal 1980an ternyata berhasil berkembang lebih jauh dengan terbentuknya apa yang kemudian dikenal dengan Cambridge Realist Workshop, dimulai pada bulan Oktober 1990.
Kurang lebih tiga puluh tahun kemudian pada Oktober 2022 berkembang lebih canggih menjadi Cambridge Sosial Ontology Group (CSOG). Dengan kelembagaan ini model pembangunan madzab ekonomi realisme kritikal dilakukan dan dinikmati secara berkelanjutan oleh Tony Lawson. Dari sini ia dengan gigih tidak mengenal lelah memperkenalkan, mengembangkan, dan menyebarluaskan madzab realisme kritis dalam ilmu ekonomi ke semua penjuru dunia. Sekarang ini lembaga dan forum tersebut telah berusia lebih dari empat puluh tahun, dan Tony Lawson menempati posisi terhormat dengan dinyatakan sebagai “….. the central figure in this project…. whose works has provided much of the impetus for Cambridge Social Ontology.”
Itulah penilaian tegas yang dibuat oleh Slade-Caffarel (2022: 316) dan penilaian yang tidak berbeda juga dinyatakan oleh Pratten, Faulkner, dan Runde (2017: 1265) yang menegaskan bahwa “The central figure in this project is Tony Lawson, whose work has provided much of the impetus for Cambridge Social Ontology over the last thirty years.” Ketika ia mulai memperkenalkan tulisannya berjudul “Realist Theory of Economics” yang diterbitkan pada buku bermutu penanda pergeseran orientasi FME ,New Directions in Economic Methodology (1994), ternyata tulisan tersebut dinilai oleh Fullbrook (2009: 1) sebagai “….. stands out like someone standing alone at a party.”
Sebuah penilaian yang terlihat menyakitkan, tetapi tampaknya bukan penilaian yang keliru. 2 Posisi kesepian tersebut jelas kini telah berkurang, setidaknya ditandai oleh terbitnya buku Ontology and Economics, Tony Lawson & His Critics (2009) yang diedit oleh Edward Fullbrook. Dapat dipastikan Tony Lawson – sebagai salah satu raksasa cendekiawan dunia dalam FME – merasa amat terhormat, karena di dalam buku tersebut dijumpai banyak tulisan yang memberikan tanggapan pada ide-ide besarnya dan di saat yang sama ia juga mendapatkan kesempatan untuk memberikan tanggapan balik pada kritik yang diterimanya. Bahkan uniknya, dijumpai tulisan Bruce Caldwell (2009: 13-19) yang memberikan persetujuan pada kritik ontologis dan metodologis yang diberikan oleh Tony Lawson pada ekonomi arus utama, tetapi di sisi lain tidak cukup menggoyahkan pemihakan yang dilakukan oleh Caldwell pada ekonomi arus utama. Kesendiriannya tidak sepenuhnya terobati.
Atas dasar itulah kira-kira penilaian yang diberikan oleh Slade-Caffarel (2022: 315) tentang status dan keunikan CSOG mendapat pembenaran. “Cambridge Sosial Ontology is an unusual project both in its longevity and its focus on the importance of studying the nature of social reality. It has survived, thrived and had some significant impact despite its resolute opposition to the hugely dominant mainstream of modern economics. ….. Given the state of mainstream academic philosophy, it is almost difficult to believe that a project like Cambridge Social Ontology has persisted. But it has.” Tidak terimajinasikan berapa banyak energi yang sudah ditumpahkan oleh Tony Lawson dan kawan-kawan, dan dapat dipastikan proyek akademik tersebut masih memerlukan curahan energi yang tidak berhingga untuk masa depan yang terlihat masih jauh. Semoga.
Komentar Tim Redaksi:
Tulisan itu dari Dr. Suwarsono Muhammad, Dosen FBE UII Yogyakarta. Beliau juga pernah menulis buku yang sekaligus jadi desertasi S3 nya yaitu Kapitalis Religius. Tim redaksi pernah ikut 4 kesempatan dan peunya bukunya tentang Kapitalis Religious yaitu saat diskusi di UAD dengan MEK PWM DIY, di UII saat acara Radio Unisia, di Tarumartani dan Di FBE UII Yogyakarta. Beliau punya gaya pemikiran tersendiri yang mencerahkan kepada setiap mitra diskusinya. Komentar lainya disilahkan ditulis di kolom dibawah ini ya. Semoga web pinbas dot com dapat menjadi media berita buat kita semua terkait Pusat Inkubasi Bisnis Syariah (PINBAS) MUI DIY
Komentar lainnya:
Mengenal lebih dekat dengan Dr. Suwarsono Muhammad
Sleman, 22 Agustus 2024. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu pilar utama untuk mendorong kemajuan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan menghadirkan inovasi, teknologi, dan mengarahkan manusia membangun masa depan yang lebih baik. Ilmu pengetahuan juga memberikan dampak yang positif untuk intelektualitas dan integritas setiap insan. Perkembangan ilmu pengetahuan tercermin pada buku-buku yang dihasilkan. Buku tidak hanya tempat untuk mencatat kemajuan, namun juga membantu menemukan cakrawala baru.
Kegiatan Peluncuran Pojok Suwarsono Lukia dan Diskusi Panel yang bertajuk “Buku, Intelektualisme, dan Masa Depan Peradaban” dihadirkan dengan semangat kecintaan terhadap buku. Kegiatan yang diselenggarakan di Lantai 1 Direktorat Perpustakaan Universitas Islam Indonesia ini diharapkan dapat menjadi pengingat dalam kerja bersama mengumpulkan wawasan, merumuskan solusi dan mengimplementasikan kongkret mendapatkan ilmu pengetahuan. Suwarsono Muhammad selaku donator melakukan pemotongan pita sebagai tanda serah 4100 koleksi bukunya. Selanjutnya, tamu undangan diajak untuk semakin dengan koleksi-koleksi Pojok Suwarsono-Lukia lewat tur yang dipimpin oleh Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid. Ada beragam tema yang dapat dibaca oleh sivitas akademika UII: mulai dari strategi, peradaban, manajemen pemasaran, marketng, hingga Sejarah dan kebangsaan.
Dr. Suwarsono Muhammad adalah Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia. Sebagai pembelajar ekonomi dan peradaban, Suwarsono telah menulis sejumlah buku bertema perubahan sosial, peradaban Islam, kapitalisme perdagangan, dan kapitalisme religius. Pemikiran Suwarsono dibentuk oleh koleksi buku yang dibaca. Peran sang istri, Lukia Zuraida dalam mendukung dan merawat ribuan bukunya selama puluhan tahun turut memberi arti penting. Kini ribuan buku tersebut telah beralih rumah di Direktorat Perpustakaan UII, dengan harapan pemikiran terhadap peradaban Islam di tengah pusaran globalisasi akan terus terawat melalui semangat membaca para intelektual muda. Salah satu pemikiran terbaru dari Suwarsono Muhammad yang lahir dari pembacaan ribuan buku adalah ‘Kapitalisme Religius’. Kapitalisme Religius diajukan sebagai model dan sekaligus strategi yang dapat dipertimbangkan dan dipilih untuk membangun kembali peradaban Islam. Model ini merupakan jalan tengah, bentuk revolusi damai untuk menjembatani dua idealisme besar duniawi yang seringkali saling meniadakan satu sama lain.
Acara perluncuran dan peresmian kemudian dilanjutkan dengan acara Diskusi Panel yang berjudul “Buku, Intelektualisme dan Masa Depan Peradaban” Diskusi dipimpin oleh Karina Utami Dewi, S.IP., M.A. dengan narasumber Prof. Dr. rer.soc. Masduki, S.Ag. M.Si. dan Prof. Dr. Heru Nugroho.
Menurut Prof. Heru “Buku dapat menjadi teman, pencerah, dan kita bisa terus menerus bertanya melalui buku. Hibah buku yang diberikan oleh Bapak Suwarsono sebanyak ribuan ini merupakan hal yang mulia, karena buku pada era kami sangat penting, sangat berpengaruh. Tapi untuk era sekarang, generasi gen Z mungkin bisa melalui buku digital. Persoalannya adalah kemudian mengenai minat baca dan pencerdasan. Padahal buku bisa mengubah Indonesia, sebab Soekarno-Hatta merubah Indonesia dari buku. Untuk menuju era itu, tugas kita mendorong minat mahasiswa membaca buku.”
Prof. Masduki menyebutkan “Secara historis, buku -baik individual atau pun kolektif- memiliki 3 makna penting. Pertama, buku itu menyimpan ilmu pengetahuan. Dia melakukan proteksi, membakukan kerja proteksi pengetahuan. Sehingga orang yang menyimpan buku maka menyimpan pengetahuan. Buku juga mencerminkan karya intelektual. Seorang Suwarsono akan dilihat dari bukunya. Karya terbarunya yang berjudul “Kapitalis Religiusme” menunjukkan seseorang yang kapitalis tapi juga religius. Sejarah menunjukkan bahwa buku itu objek yang mengalami represi politik. Sehingga Indonesia, sejak era kolonial, punya sejarah bahwa buku merupakan alat untuk merekam pengetahuan, menunjukkan intelektualisme seorang Soekarno-Hatta tapi memiliki kebebasan untuk berekspresi namun kemudian direpresi oleh Belanda.”
Kontributor: Aprilina Selly Crussita Bella
Tulisan yang masuk silahkan kirim ke WA redaksi: 0821.3524.2080. Terima kasih