Dr. Khoiruddin Bashori, Dosen Psikologi UAD.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji hanya milik Allah SWT, Tuhan semesta alam yang menciptakan manusia dalam keberagaman. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sang teladan akhlak dan kebijaksanaan.

Jamaah yang dirahmati Allah,

Kita hidup di zaman yang penuh dinamika dan perbedaan. Perbedaan pendapat, latar belakang, cara pandang, bahkan pilihan hidup. Dalam Islam, perbedaan bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihormati. Allah SWT berfirman:

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu…”
(QS. Al-Ma’idah: 48)

Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan adalah sunatullah, bagian dari skenario Allah untuk menguji kedewasaan kita sebagai manusia.


1. Menikmati Perbedaan = Ciri Orang yang Bijak

Orang yang bijak bukan hanya yang banyak ilmunya, tetapi yang berjiwa luas. Ia tidak cepat tersinggung saat berbeda pendapat, tidak kaku terhadap cara pandang orang lain. Ia tahu, bahwa kebenaran tidak selalu tunggal dalam persoalan duniawi.

Nabi Muhammad SAW sendiri hidup dalam keberagaman. Dalam berdakwah, beliau sering mendengarkan lebih dulu sebelum menjawab, mengajak bukan menyerang, menuntun bukan menghakimi.


2. Perbedaan adalah Kesempatan Belajar

Jangan takut berbeda. Karena justru di situ kita bisa belajar:

  • Tentang sudut pandang lain,
  • Tentang empati dan kesabaran,
  • Tentang memperluas wawasan tanpa kehilangan jati diri.

Orang bijak memiliki fleksibilitas kognitif: ia bisa memahami tanpa harus menyetujui, dan bisa berdebat tanpa harus bermusuhan.


3. Menyikapi Perbedaan dengan Nilai dan Kearifan

Nilai (values) adalah fondasi seseorang dalam berpikir dan bertindak. Nilai-nilai seperti keadilan, empati, dan keseimbangan harus menjadi penuntun saat menghadapi perbedaan.

Kearifan sejati adalah kemampuan menghadapi kompleksitas moral, sosial, dan emosional—bukan sekadar cerdas bicara, tapi dewasa dalam sikap.

Sebagaimana pepatah Arab berkata:

“Al-hikmatu dhalatul mu’min, fa aina wajadaha fahuwa ahaqqu biha.”
“Hikmah adalah harta milik orang beriman yang hilang. Di mana pun ia menemukannya, ia yang paling berhak memilikinya.”


4. Hidup Damai dalam Perbedaan, Tanpa Kehilangan Prinsip

Menikmati perbedaan bukan berarti kehilangan prinsip. Tapi itu berarti:

  • Tidak mengagungkan ego,
  • Tidak memaksakan pendapat,
  • Tidak mudah menghakimi.

Orang yang bernilai tinggi dan berhikmah akan menjaga akhlak dalam setiap dialog. Ia tahu bahwa tidak semua harus diselesaikan dengan menang-kalah, tapi kadang cukup dengan mendengarkan dan memahami.


Jamaah yang dimuliakan Allah,
Di tengah masyarakat yang plural dan media sosial yang penuh polarisasi, kita butuh lebih banyak orang yang bisa menikmati perbedaan, bukan yang memperuncingnya. Orang yang mengedepankan kemanusiaan di atas ideologi, dan hikmah di atas emosi.

Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang bukan hanya berilmu, tapi juga berhikmah. Bukan hanya benar, tapi juga bijak. Bukan hanya berbeda, tapi juga bersaudara.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb. Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith-tharīq. Fastabiqul khoirot. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

By MUI PINBAS

PINBAS MUI DIY, pusat inkubasi bisnis syariah. Sebuah lembaga yang kegiatannya mendampingi pelaku usaha UMKM dan Koperasi syariah serta media preneur terutama di DIY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *