Mengapa setiap takmir masjid di DIY dan di Indonesia belum belum Optimal melayani jamaahnya dan lingkungan sekitarnya dengan solusi yang sangat dibutuhkan setiap jamaahnya?

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jamaah yang dirahmati Allah,

Alhamdulillah. Kita bersyukur bahwa Indonesia adalah negeri dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Di setiap sudut kota dan desa, berdiri masjid-masjid megah. Suara adzan berkumandang lima kali sehari, majelis taklim menjamur, dan komunitas Islam tumbuh subur, seperti ada gowes shubuh, dll.

Namun kita perlu jujur dan merenung:
Mengapa di tengah banyaknya masjid dan jamaah, masih banyak masyarakat sekitar masjid yang lapar, sakit, terlilit utang, fakir, miskin, atau anaknya putus sekolah? Mengapa kehadiran masjid belum benar-benar terasa sebagai solusi untuk kebutuhan umat sekitarnya minimal?

Ada tiga penyebab utamanya:

Pertama: Kita sering berhenti pada ibadah ritual, bukan sosial.
Kita rajin shalat, puasa, dan mengaji—Alhamdulillah. Tapi kita lupa bahwa Islam juga mengajarkan kita untuk peduli. Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)

Berapa banyak dari kita yang peduli tetangga yang menganggur? Atau orang tua tunggal yang tak punya uang belanja? Kita kadang lebih sibuk mengurusi bid’ah dan khilafiyah daripada mencari siapa yang tidak makan hari ini.

Kedua: Kurangnya sinergi dan kolaborasi antarumat Islam sendiri.
Banyak ormas, komunitas, dan masjid berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada kolaborasi lintas masjid, lintas RT, apalagi lintas desa. Padahal jika bersatu, kita bisa membangun:

  • Klinik dan ambulans gratis,
  • Koperasi pangan jamaah atau bank pangan atau holding UMKM,
  • Sekolah Islam berbasis wakaf produktif.

Tanpa sinergi, kita kuat di jumlah tapi lemah di dampak atau tidak ngefek banyaknya umat.

Ketiga: Kita belum menjadikan Islam sebagai solusi hidup, hanya identitas.
Label Muslim kita pakai, tapi sistem Islam—dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga pengelolaan zakat—belum kita hidupkan. Kita bangga menyebut diri Muslim, tapi belum menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin di lingkungan sekitar. Syariah islam itu untuk semua. Konven itu hanya untuk non islam, terbatas. Buktikan nyata. Rubah ide, jadi gawe setiap hari.

Saudaraku,

Umat yang besar tidak otomatis kuat.
Masjid yang ramai belum tentu berdampak.
Ilmu yang banyak belum tentu membawa perubahan—kalau tidak diamalkan untuk kemaslahatan.

Jangan tunggu kaya untuk bersedekah.
Jangan tunggu sempurna untuk membantu.
Mulailah dari hal kecil, dari lingkungan terdekat.

Mari ubah paradigma masjid kita:
Dari hanya sebagai tempat shalat, menjadi tempat shalat dan pusat solusi sosial umat.
Dari tempat menunggu jemaah datang, menjadi tempat menjemput masalah dan menyelesaikannya masalah setiap jamaahnya, pangannya, sandangnya, papannya, dst.

Harapan:

Semoga kita tidak hanya menjadi Muslim yang salih secara pribadi, tapi juga muslih secara sosial—yakni yang memperbaiki keadaan umat sekitar kita, satu langkah demi satu solusi: Rubah ide, jadi gawe setiap hari dari satu jamaah ke jamaah lainnya. Lanjut kita lakukan bersama terus di tempat kita masing masing saling sinergi dan kolaborasi dalam dakwah islam berbasis masjid, dst.

Wallahu a’lam bishawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
#Kultum Online Penuh Inspirasi (KOPI). #Rubah Ide Jadi Gawe (RI-JG)

By MUI PINBAS

PINBAS MUI DIY, pusat inkubasi bisnis syariah. Sebuah lembaga yang kegiatannya mendampingi pelaku usaha UMKM dan Koperasi syariah serta media preneur terutama di DIY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *