
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat iman dan Islam. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, suri teladan yang sempurna dalam akhlak dan ibadah.
Hari ini, izinkan saya menyampaikan kultum singkat bertema: “Haji Mabrur: Apa Itu Mabrur?”
Secara etimologis, “mabrur” berasal dari kata birr, yang berarti kebaikan. Maka, haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah karena dilaksanakan dengan ikhlas, benar, dan berdampak pada perbaikan akhlak serta kehidupan setelahnya.
Nabi SAW bersabda:
“Al-hajju al-mabrûr laisa lahu jazâ’un illal-jannah”
“Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, pertanyaan pentingnya: apa ciri-ciri haji yang mabrur?
Apakah cukup dengan menyelesaikan semua rukun dan wajib haji? Ataukah ada yang lebih dalam?
1. Mabrur = Transformasi Akhlak
Haji yang mabrur bukan sekadar ibadah ritual. Ia menghasilkan perubahan akhlak nyata. Dalam istilah psikologi moral, orang yang mabrur telah menginternalisasi nilai-nilai kebaikan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka bukan hanya tahu mana yang benar, tetapi juga berani dan konsisten melakukan yang benar. Inilah tahap moralitas pasca-konvensional menurut psikolog Lawrence Kohlberg — yaitu, seseorang bertindak bukan karena takut aturan, tapi karena cinta terhadap keadilan, kejujuran, dan kasih sayang.
2. Haji Mabrur dan Kepribadian Mulia
Dalam psikologi kepribadian, seseorang yang mabrur cenderung tinggi dalam dua aspek penting:
- Agreeableness: ramah, peduli, tidak suka menyakiti.
- Conscientiousness: bertanggung jawab, dapat dipercaya, berkomitmen pada nilai luhur.
Mereka bukan sekadar sukses secara lahiriah, tetapi juga berakhlak mulia secara batiniah.
3. Hebat Tapi Tersesat
Ada orang yang hebat secara duniawi: cerdas, kaya, terkenal — namun jika tanpa akhlak, ia bisa menjadi egois, manipulatif, bahkan menyesatkan. Inilah yang disebut para psikolog sebagai ketimpangan antara kompetensi dan moralitas.
Dalam Islam, hebat yang tidak diiringi iman dan akhlak, justru bisa menjadi sumber kerusakan. Maka, menjadi “orang baik” adalah prestasi spiritual, bukan hanya karier.
4. Haji dan Pencarian Makna
Dari perspektif psikologi eksistensial, manusia bukan hanya makhluk rasional, tapi juga pencari makna. Orang yang menjadi mabrur telah menemukan makna hidup yang sejati: untuk Allah, untuk sesama, dan untuk kemanusiaan.
Sebaliknya, orang yang “hebat tapi kosong”, meskipun tampak berhasil, sering mengalami kehampaan batin. Haji seharusnya menjadi momen penyembuhan jiwa dan penyucian makna hidup.

Harapan:
Hadirin yang dirahmati Allah,
Mari kita berdoa agar saudara-saudara kita yang menunaikan ibadah haji tahun ini mendapatkan haji yang mabrur, dan bagi kita semua yang belum berhaji, semoga Allah memampukan kita untuk pergi ke Baitullah dan pulang membawa perubahan yang hakiki.
Ingatlah, haji mabrur adalah tentang menjadi manusia baru yang lebih baik, bukan hanya secara ibadah, tapi juga dalam akhlak, niat, dan relasi sosial.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

