Dr. Ayif Fathurrahman SE., SEI., MSI (Dosen Magister Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogykarta) dan Pengurus PINBAS MUI DIY

Dunia modern kita berdiri di atas paradoks besar. Di satu sisi, kemajuan teknologi, industrialisasi, dan perdagangan global telah membuka peluang tanpa batas. Namun di sisi lain, jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, konflik geopolitik kian mengeras, dan bumi yang kita huni dipaksa menanggung beban eksploitasi tanpa henti.

Di balik pertikaian Rusia–Ukraina, ketegangan Iran–Israel, maupun gesekan di kawasan lain, terselip benang merah yang jarang diakui secara jujur: perebutan sumber daya ekonomi. Politik dan ekonomi kini adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Berbicara politik tanpa ekonomi tak pernah menemukan ujung, dan membicarakan ekonomi tanpa politik hanyalah kehampaan.

Krisis Ekonomi, Krisis Kemanusiaan

Kita hidup di zaman ketika ilmu ekonomi seringkali dilepaskan dari nilai moral dan spiritual. Ekonomi konvensional, yang menjadi arus utama di perguruan tinggi maupun lembaga global, menjanjikan pertumbuhan, namun diam-diam memupuk materialisme. Akibatnya, keseimbangan sosial terkoyak, ekologi rusak, dan solidaritas manusia terkikis.

Ekonomi yang kehilangan nilai agama sejatinya hanyalah mesin tanpa arah. Ia memang mampu memutar roda produksi dan konsumsi, tetapi pada akhirnya bisa menyeret umat manusia pada kesenjangan dan pertumpahan darah. Maka persoalan ekonomi bukan lagi sekadar angka untung dan rugi, melainkan persoalan eksistensi manusia itu sendiri: bagaimana kita bertahan, hidup bersama, dan saling menjaga di muka bumi.

Seperti yang ditegaskan Muhammad Umer Chapra (1992), “The real crisis of our time is not economic or political in nature, but moral. Unless the moral dimension is reintroduced into economics, no lasting solution can be found for poverty and inequality.” Krisis kita sejatinya adalah krisis moralitas.

Islam dan Jalan Tengah Peradaban

Islam menghadirkan sebuah tawaran yang tidak ekstrem: wasathiyah (moderasi), maslahah (kemanfaatan), dan ‘adalah (keadilan). Al-Qur’an menegaskan umat Islam sebagai ummatan wasathan—umat yang seimbang, tidak condong ke kiri maupun ke kanan, termasuk dalam urusan ekonomi.

Ekstremisme dalam sistem ekonomi selalu berujung pada kebuntuan. Sosialisme yang terlalu negara-sentris kehilangan ruang kebebasan individu, sementara kapitalisme yang terlalu liberal melahirkan eksploitasi dan kesenjangan. Keduanya menunjukkan wajah ekonomi yang timpang. Islam hadir untuk menyelaraskan: memberi ruang bagi pasar untuk tumbuh, tetapi menghadirkan negara sebagai penjaga agar pasar tidak berubah menjadi arena pemangsaan yang kuat atas yang lemah.

Yusuf al-Qaradawi (1995) menulis bahwa “al-iqtisad al-Islami huwa iqtisad al-wasathiyyah”—ekonomi Islam adalah ekonomi keseimbangan, yang berdiri di antara dua ekstrem. Ia menolak kediktatoran negara, tetapi juga menolak tirani pasar.

Dari Larangan Riba ke Keadilan Global

Salah satu instrumen nyata dalam Islam adalah larangan riba. Ia bukan sekadar hukum teologis, melainkan prinsip ekonomi yang sangat rasional. Riba menciptakan ketidakadilan struktural: yang kaya semakin aman memperbesar kekayaan, sementara yang miskin semakin terbebani. Sistem tanpa bunga, seperti yang kini mulai diadopsi dalam keuangan syariah, adalah ikhtiar menghadirkan keadilan dan pemerataan.

Nejatullah Siddiqi (1981) menegaskan bahwa sistem perbankan tanpa bunga bukanlah utopia, melainkan cara paling logis untuk menciptakan distribusi kekayaan yang adil. Dalam pandangannya, bunga hanyalah “alat dominasi” yang memperdalam kesenjangan antar kelas sosial.

Larangan riba dengan demikian bukan hanya tentang halal dan haram, melainkan tentang bagaimana manusia bisa hidup dengan lebih adil, saling menguatkan, dan membangun tatanan ekonomi yang berkelanjutan.

Menuju Arus Utama Peradaban

Ekonomi Islam tidak seharusnya dipandang hanya sebagai alternatif di pinggiran. Ia layak menjadi arus utama peradaban masa depan. Bukan karena klaim ideologis, melainkan karena prinsip-prinsip yang dikandungnya: keadilan, keseimbangan, keberkahan, dan keberlanjutan.

Ekonomi Islam mengingatkan bahwa kemajuan bukan hanya soal pertumbuhan angka, melainkan tentang keberlangsungan hidup manusia di bumi. Ia menolak dikotomi palsu antara materi dan spiritual, antara dunia dan akhirat.

Pada akhirnya, ekonomi adalah cermin dari pilihan moral kita sebagai umat manusia. Apakah kita ingin membangun dunia yang hanya dihuni oleh segelintir orang kaya, atau dunia yang menyejahterakan bersama? Apakah kita rela membiarkan konflik berdarah terus terjadi demi harga minyak dan pasar senjata, atau berani membayangkan ekonomi yang berdiri di atas nilai kemanusiaan?

Ekonomi Islam mengajukan jawaban yang sederhana namun mendalam: mari isi ekonomi dengan nilai-nilai keadilan. Karena pada hakikatnya, ekonomi bukan hanya tentang kaya dan miskin, melainkan tentang bagaimana kita menjaga keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini. (*)

Kultum: Ekonomi Tanpa Tuhan – Sumber Kesenjangan dan Konflik Dunia

Oleh: Dr. Ayif Fathurrahman, SE., SEI., MSI
(Dosen Magister Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

Pendahuluan

Bapak-Ibu jamaah yang dimuliakan Allah,
Dunia modern hari ini penuh dengan paradoks. Di satu sisi, teknologi, industri, dan perdagangan global membuka peluang luar biasa. Namun di sisi lain, kita menyaksikan jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, konflik geopolitik tak kunjung reda, dan bumi kita dieksploitasi tanpa henti.

Di balik perang Rusia–Ukraina, ketegangan Iran–Israel, maupun konflik di kawasan lain, seringkali terselip satu benang merah: perebutan sumber daya ekonomi. Politik dan ekonomi adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Krisis Ekonomi, Krisis Kemanusiaan

Sayangnya, ilmu ekonomi modern sering dipisahkan dari nilai moral dan agama. Ekonomi konvensional memang menjanjikan pertumbuhan, tapi diam-diam menumbuhkan materialisme. Akibatnya:

  • solidaritas manusia terkikis,
  • lingkungan rusak,
  • dan kesenjangan semakin parah.

Muhammad Umer Chapra (1992) mengingatkan:

“Krisis terbesar zaman kita bukanlah krisis ekonomi atau politik, melainkan krisis moral. Tanpa dimensi moral, tak ada solusi langgeng bagi kemiskinan dan ketidakadilan.”

Artinya, persoalan ekonomi bukan sekadar angka untung dan rugi, tapi persoalan kemanusiaan—bagaimana kita hidup bersama dan saling menjaga.

Islam dan Jalan Tengah

Islam hadir dengan jalan tengah (wasathiyah). Al-Qur’an menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan—umat yang seimbang, adil, dan membawa kemaslahatan.

  • Sosialisme yang terlalu negara-sentris kehilangan ruang kebebasan.
  • Kapitalisme yang terlalu liberal melahirkan kesenjangan.
    Keduanya timpang.

Yusuf al-Qaradawi (1995) menulis:

“Ekonomi Islam adalah ekonomi keseimbangan—menolak kediktatoran negara sekaligus menolak tirani pasar.”

Artinya, pasar boleh tumbuh, tapi negara harus hadir menjaga agar yang kuat tidak memangsa yang lemah.

Dari Larangan Riba Menuju Keadilan

Salah satu instrumen Islam adalah larangan riba. Larangan ini bukan sekadar hukum agama, melainkan prinsip keadilan.

  • Riba membuat orang kaya semakin aman,
  • sementara yang miskin semakin terbebani.

Nejatullah Siddiqi (1981) menegaskan:

“Sistem perbankan tanpa bunga bukan utopia, melainkan jalan logis menuju distribusi kekayaan yang adil.”

Dengan demikian, larangan riba adalah ikhtiar membangun masyarakat yang saling menguatkan, bukan saling menindas.

Ekonomi Islam sebagai Arus Utama

Ekonomi Islam seharusnya tidak dianggap alternatif pinggiran. Ia layak menjadi arus utama peradaban masa depan.

  • Prinsipnya: keadilan, keberkahan, keberlanjutan.
  • Tidak memisahkan dunia dan akhirat, materi dan spiritual.

Pertanyaan pentingnya:

  • Apakah kita ingin dunia hanya dihuni segelintir orang kaya?
  • Atau dunia yang menyejahterakan bersama?
  • Apakah kita rela konflik terus terjadi demi minyak dan senjata?
  • Atau berani membayangkan ekonomi yang berlandaskan nilai kemanusiaan?

Islam memberi jawabannya:

Mari isi ekonomi dengan nilai keadilan.

Karena pada hakikatnya, ekonomi bukan hanya tentang kaya atau miskin, tetapi tentang bagaimana kita menjaga keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini.

Penutup

Jamaah sekalian,
Mari kita jadikan ekonomi sebagai jalan ibadah: mencari nafkah halal, menghindari riba, membangun keadilan, dan menebar keberkahan. Semoga kita mampu menghadirkan ekonomi yang berpihak pada manusia, pada keadilan, dan pada Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab.

By MUI PINBAS

PINBAS MUI DIY, pusat inkubasi bisnis syariah. Sebuah lembaga yang kegiatannya mendampingi pelaku usaha UMKM dan Koperasi syariah serta media preneur terutama di DIY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *