Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saudaraku yang dirahmati Allah,

Dunia ini adalah la’ibun wa lahwun, permainan dan senda gurau. Dalam permainan, ada yang menang dan ada yang kalah. Tapi bukan soal menang atau kalah yang menjadi ukuran kemuliaan seseorang. Melainkan bagaimana cara kita menang, dan bagaimana sikap kita saat kalah. Menang yang bermartabat lebih mulia, dan kalah yang terhormat jauh lebih baik, dibandingkan menang dengan cara curang dan tidak jujur.

Ibarat pertandingan sepak bola, ada tim yang menang karena gol kontroversial—yang diperdebatkan, dipertanyakan, dan bahkan dicurigai. Kemenangan seperti itu tidak memberikan ketenangan, tidak membawa kebanggaan sejati. Namun ada juga tim yang kalah dengan penuh kehormatan. Mereka kalah karena lawan memang lebih unggul, tapi mereka menunjukkan semangat, sportivitas, dan kejujuran. Justru mereka mendapat simpati dan penghargaan dari banyak orang.

Saudaraku,

Dalam kehidupan, termasuk dalam perkara hukum dan keadilan, selalu ada yang kalah dan menang. Tapi sekali lagi, apakah kemenangan itu diraih dengan cara yang jujur dan bermartabat? Atau dengan rekayasa, manipulasi, dan kecurangan? Dan apakah pihak yang kalah bisa menerima kenyataan dengan kepala tegak, atau malah menyimpan dendam dan kebencian?

Islam mengajarkan kepada kita tiga nilai utama yang menjaga harga diri manusia: ‘izzah, muru’ah, dan ‘iffah.

  • ‘Izzah adalah kemuliaan diri, kehormatan, dan kekuatan. Ini bukan berasal dari jabatan atau kekayaan, tapi dari hubungan yang dekat dengan Allah SWT. Allah berfirman:
    “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu seluruhnya.” (QS. Fathir: 10)
  • Muru’ah adalah menjaga akhlak dan sikap dalam kehidupan. Seperti dijelaskan oleh Imam Mawardi, muru’ah adalah menjaga diri agar tidak melakukan hal yang tercela secara sengaja, dan tidak layak mendapatkan cacian. Ini adalah bentuk kesadaran diri agar kita selalu dalam kondisi terbaik secara moral.
  • ‘Iffah adalah kemampuan untuk menahan diri dari hawa nafsu dan dorongan negatif. Menurut Ibnu Maskawaih, dari sifat iffah inilah muncul akhlak-akhlak mulia seperti sabar, jujur, dermawan, dan adil.

Saudaraku,

Kalau seseorang kehilangan sifat ‘izzah, muru’ah, dan ‘iffah, maka ia akan mudah tergelincir pada kecurangan, kebohongan, dan ketidakadilan. Padahal, kemenangan yang diperoleh dengan cara curang adalah kemenangan semu—menang di dunia tapi kalah di sisi Allah.

Sebaliknya, menerima kekalahan dengan lapang dada, dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, adalah bentuk kehormatan sejati. Tidak ada kekalahan yang abadi di dunia. Pun tidak ada kemenangan yang selamanya. Semua hanya sementara.

Tugas kita adalah menjaga integritas dalam setiap peran kehidupan.

Jadilah pemenang yang jujur dan bermartabat.

Dan jika harus kalah, maka kalah-lah dengan kepala tegak dan hati yang bersih. Karena sesungguhnya, Allah lebih mencintai orang yang sabar dan berjiwa besar daripada mereka yang menang karena kezaliman.

Saudaraku,

Marilah kita senantiasa memohon kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga ‘izzah, muru’ah, dan ‘iffah dalam kehidupan kita. Agar kita tidak tergoda pada jalan curang dan tercela demi kemenangan dunia yang fana ini.

Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wallahu a’lam bishawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

KALAH BERMATABAT LEBIH TERHORMAT DARIPADA MENANG DENGAN CARA CURANG

Saudaraku,

Dunia adalah permainan dan lahwun (tempat bersenang-senang). Di dalam permainan tentu ada yang kalah dan ada pula yang menang. Menang dan kalah adalah suatu keniscayaan, namun masalahnya pada bagaimana memperoleh dan menyikapi keduanya. Menang bermartabat dan kalah terhormat atau menang tercela kalah terhina…

Ibarat sepak bola, kita pernah mendengar sebuah tim yang menang dengan gol kontroversial. Kemenangan tersebut diperbincangkan dan diperdebatkan. Tidak sepenuhnya orang bisa menerima kemenangan kita karena di dalamnya ada kecurangan, rekasa dan keberpihakan. Namun ada pula kesebelasan yang kalah dengan terhormat. Mereka kalah bukan karena menerima keputusan apa adanya. Mereka kalah karena lawan lebih baik dan lebih berkualitas. Kendati demikian, mereka tetap mampu memberikan perlawanan yang mengesankan…

Demikian pula halnya dengan penegakan hukum dan keadilan di pengadilan, dipastikan hanya ada satu yang keluar sebagai pemenang. Ini hukum alam. Lagi-lagi apakah kemenangan itu merupakan kemenangan yang bermartabat atau kemenangan yang menimbulkan mudharat, karena dilakukan dengan kecurangan dan keculasan. Demikian juga dengan para pihaknya, apakah mereka menjadi pihak yang malah terhormat ketika kalah atau malah semakin terhina…

Saudaraku,

Di dalam ajaran Islam, ada tiga kata yang secara makna saling melengkapi dalam mewujudkan harga diri seseorang, yakni izzah (kemuliaan diri), muru’ah (menjaga kehormatan diri), dan iffah (menahan diri). Ketiga kata tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Izzah juga berarti keagungan, kehormatan dan kekuatan. Jika kita sering mendengar kata Izzul Islam, itu bermakna betapa mulianya Islam bagi kehidupan manusia. Izzah harus ada dalam hati setiap orang, yang didapat dengan cara mendekat kepada Rabb-nya…

Sementara muru’ah, menurut Syekh Imam Mawardi dalam Adab Ad-Dunya wad-Din, memiliki pengertian,

المروءَة مراعاة الأحوال إلى أن تكون على أفضلها، حتَّى لا يظهر منها قبيحٌ عن قصد، ولا يتوجَّه إليها ذمٌّ باستحقاق

“Muru’ah adalah menjaga tingkah laku hingga tetap berada pada keadaan yang paling utama, supaya tidak melahirkan keburukan secara sengaja dan tidak berhak mendapat cacian.” Lebih lengkap, menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, _muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.”

Sedangkan ‘iffah menurut Ibnu Maskawaih di dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak, suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk menahan dorongan hawa nafsunya. ‘Iffah merupakan keutamaan yang dimiliki manusia ketika ia mampu mengendalikan syahwat dengan akal sehatnya. Dari sifat ‘iffah inilah lahir akhlak-akhlak mulia seperti sabar, qana’ah, adil, jujur, dermawan, santun, dan perilaku terpuji lainnya. Sifat ‘iffah ini pulalah yang membuat manusia menjadi mulia (izzah). Sekiranya manusia sudah tidak lagi memiliki sifat ini, maka ia tidak ubahnya dia seperti binatang. Karena, ketika seseorang mampu memfungsikan ‘iffah-nya, berarti akal sehatnya bekerja dengan baik…

Dengan demikian, orang yang memiliki harga diri adalah orang yang mampu menampilkan kemuliaan dirinya (‘izzah), menjaga kehormatannya (muru’ah), dan menahan diri (‘iffah) dari dorongan hawa nafsu, perbuatan maksiat, perilaku yang buruk dan segala sesuatu yang diharamkan oleh syariat.

Saudaraku,

Kehidupan dunia menjadi permainan karena jika kekalahan tidak diterima dengan lapang dada, akan melahirkan rasa benci, kedengkian yang tiada henti dan iri hati yang tak berkesudahan hingga dapat merusak persatuan dan kesatuan. Padahal tidak ada kekalahan yang abadi seperti halnya tidak ada kemenangan yang abadi selagi kita di dunia. Itulah dunia yang disebut Al-Qur’an sebagai la’ibun wa lahwun.

Saudaraku,

Tugas kita adalah bagaimana mengawal penegakan hukum dan keadilan agar tidak sia-sia. Jadilah pemenang yang bermartabat. Andaipun kalah, terimalah kekalahan itu secara terhormat…

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita tetap Istiqamah senantiasa menampilkan kemuliaan diri (‘izzah), menjaga kehormatan (muru’ah), dan menahan diri (‘iffah) dari dorongan hawa nafsu untuk meraih ridha-Nya…

Aamiin Ya Rabb.

Wallahu a’lam bishawab

By MUI PINBAS

PINBAS MUI DIY, pusat inkubasi bisnis syariah. Sebuah lembaga yang kegiatannya mendampingi pelaku usaha UMKM dan Koperasi syariah serta media preneur terutama di DIY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *